Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

Kerangka Kebudayaan Menurut Koentjaraningrat (1980), kata “kebudayaan” berasal dari kata Sansekerta budhayah, yaitu bentuk jamak dari budhi yang berarti.

Presentasi serupa


Presentasi berjudul: "Kerangka Kebudayaan Menurut Koentjaraningrat (1980), kata “kebudayaan” berasal dari kata Sansekerta budhayah, yaitu bentuk jamak dari budhi yang berarti."— Transcript presentasi:

1 Kerangka Kebudayaan Menurut Koentjaraningrat (1980), kata “kebudayaan” berasal dari kata Sansekerta budhayah, yaitu bentuk jamak dari budhi yang berarti “budi” atau”akal”. Dgn demikian kebudayaan dapat diartikan “hal-hal yang bersangkutan dengan akal”. Sedangkan kata “budaya” merupakan perkembangan majemuk dari “budi daya” yang berarti “daya dari budi” sehingga dibedakan antara “budaya” yang berarti “daya dari budi” yang berupa cipta, karsa dan rasa, dengan “kebudayaan” yang berarti hasil dari cipta, karsa dan rasa.

2 Menurut dimensi wujudnya, kebudayaan mempunyai 3 wujud, yaitu; 1
Menurut dimensi wujudnya, kebudayaan mempunyai 3 wujud, yaitu; 1. Kompleks gagasan, konsep, dan pikiran manusia: Wujud ini disebut sistem budaya, sifatnya abstrak, tidak dapat dilihat, dan berpusat pada kepala-kepala manusia yang menganutnya. 2. Kompleks aktivitas, berupa aktivitas manusia yang saling berinteraksi, bersifat kongkret, dapat diamati atau diobservasi. Wujud ini sering disebut sistem sosial. Sistem sosial ini tidak dapat melepaskan diri dari sistem budaya. 3. Wujud sebagai benda. Aktivitas manusia yang saling berinteraksi tidak lepas dari berbagai penggunaan peralatan sebagai hasil karya manusia untuk mencapai tujuannya. Unsur-unsur kebudayaan. Menurut konsep B. Malinowski, kebudayaan di dunia mempunyai tujuh unsur universal, yaitu; 1) Bahasa, 2) Sistem teknologi, 3) Sistem mata pencaharian, 4) Organisasi sosial, 5) Sistem pengetahuan, 6) Religi, 7) Kesenian.

3 SISTEM BUDAYA DAN SISTEM SOSIAL Secara sederhana sistem diartikan sebagai kumpulan bagian-bagian yang bekerja bersama-sama untuk melakukan suatu maksud. Sistem itu memiliki 10 ciri, yaitu; 1) Fungsi (function), 2) Satuan (unit), 3) Batasan (boundary), 4) Bentuk (structure), 5) Lingkungan (enviroment), 6) Hubungan (relation), 7) Proses (process), 8) Masukan (input), 9) Keluaran (output), 10) Pertukaran (exchange). Sistem Budaya. Fungsi sistem budaya adalah menata dan memantapkan tindakan-tindakan serta tingkah laku manusia. Menurut Bakker (1984) kebudayaan sebagai penciptaan dan perkembangan nilai meliputi segala apa yang ada dalam alam fisik, personal dan sosial, yang disempurnakan untuk realisasi tenaga manusia dan masyarakat.

4 Kebudayaan Subjektif Nilai-nilai batin dalam kebudayaan subjektif terdapat dalam perkembangan kebenaran, kebajikan dan keindahan. Kebudayaan Objektif Nilai-nilai objektif yang juga disebut hasil unsur-unsur kebudayaan itu dapat disistematisasikan meneurut beberapa prinsip pembagian, antara lain: ilmu pengetahuan, teknologi, kesosialan, ekonomi, kesenian, dan agama. Sistem Sosial Teori sistem sosial diperkenalkan oleh Talcot Parsons, seorang sosiolog dari amerika. Konsep sistem sosial adalah alat pembantu untuk menjelaskan tentang kelompok-kelompok manusia. Dalam suatu sistem sosial, paling tidak harus terdapat 4 hal, yaitu: 1) Dua orang atau lebih, 2) Terjadi interaksi diantara mereka, 3) Bertujuan, 4) Memiliki Struktur, simbol, dan harapan-harapan bersama yang dipedomaninya.

5 Parsons mengatakan sistem sosial berfungsi apabila dipenuhi 4 persyaratan fungsional, yaitu: 1) Adaptasi, menunjuk pada keharusan bagi sistem-sistem sosial untuk menghadapi lingkungannya. 2) Mencapai tujuan, merupakan persyaratan fungsional bahwa tindakan itu diarahkan pada tujuan-tujuannya (bersama sistem sosial). 3) Integrasi, merupakan persyaratan yang berhubungan dengan interelasi antara para anggota dalam sistem sosial. 4) Pemeliharaan pola-pola tersembunyi, konsep latensi (latency) pada berhentinya interaksi akibat keletihan dan kejenuhan sehingga tunduk pada sistem sosial lainnya yang mungkin terlibat. 10 unsur-unsur sistem sosial, yaitu; 1) Keyakinan (pengetahuan), 2) Perasaan (sentimen), 3) Tujuan, sasaran, atau cita-cita, 4) Norma, 5) Kedudukan peranan (status), 6) Tingkatan atau pangkat (rank), 7) Kekuasaan atau pengaruh (power), 8) Sangsi, 9) Sarana atau fasilitas, 10) Tekanan ketegangan (stress-strain).

6 Fenomena Nilai A. Lalande membagi arti nilai dalam 2 garis besar: a
Fenomena Nilai A.Lalande membagi arti nilai dalam 2 garis besar: a. Arti objektif, disini nilai berarti sifat khas, watak khusus hal, benda atau apa saja yang membuat hal tersebut lebih atau kurang layak dihargai, dinilai, dan dimuliakan (stimare). b. Arti subjektif nilai; ciri khas hal tersebut yang membuatnya lebih atau kurang dihargai oleh si subjek atau sekelompok (yang sedang menilai hal tersebut). Menurut Sutrisno (1993) ada 4 unsur penyusun dasar Nilai (unsur konstruktif yang membuat sesuatu itu bernilai). 2 unsur berasal dari objek, yaitu: a) Faktor unsur kegunaan/manfaat, b) Faktor unsur kepentingan (importance). Dan 2 unsur berasal/bersumber dari subjek, yaitu: c) unsur kebutuhan (need), d) unsur penilaian, penafsiran, penghargaan (estimasi).

7 Konsep Nilai 1. Pepper (1958) mengatakan bahwa nilai adalah segala sesuatu tentang yang baik atau yang buruk. 2. Perry (1954) mengatakan bahwa nilai adalah segala sesuatu yang menarik bagi manusia sebagai subjek. 3. Kohler (1938) mengatakan bahwa manusia tidak berbeda di dunia ini, semua tidak dapat berhenti hanya dengan sebuah pandangan(maksud) faktual dari pengalaman yang berlaku. 4. Kluckhohn (1951) mengatakan bahwa definisi nilai yang diterima sebagai konsep yang diinginkan dalam literatur ilmu sosial adalah hasil pengaruh seleksi perilaku.

8 Robin M.Williams (1972) mengemukakan ada 4 buah kualitas tentang nilai-nilai,yaitu: 1. Nilai-nilai mempunyai sebuah elemen konsepsi yang lebih mendalam dibandingkan dengan hanya sekadar sensasi, emosi, atau kebutuhan. 2. Nilai-nilai menyangkut atau penuh dengan semacam pengertian yang memiliki suatu aspek emosi. 3. Nilai-nilai bukan merupakan tujuan kongkret dari tindakan, tetapi mempunyai hubungan dengan tujuan, sebab nilai-nilai berfungsi sebagai kriteria dalam memiliki tujuan-tujuan. 4. Nilai-nilai merupakan unsur penting, dan tidak dapat disepelekan bagi orang yang bersangkutan.

9 Watak Nilai Watak nilai ini mencakup pertimbangan-pertimbangan nilai, pembenaran nilai, pilihan nilai, dan konflik nilai. Bidang yang berhubungan dengan nilai adalah etika (penyelidikan nilai dalam tingkah laku manusia) dan estetika (penyelidikan tenang nilai dalam seni). Sistem-Sistem Nilai Sistem nilai adalah nilai inti (Score value) dari masyarakat. Menurut Williams (1960), sistem nilai itu tidak tersebar secara sembarangan, tetapi menunjukkan serangkaian hubungan yang bersifat timbal balik, yang menjelaskan adanya tata tertib di dalam suatu masyarakat,

10 Orientasi Nilai Budaya Sistem nilai budaya dalam masyarakat dimana pun, secara universal menyangkut 5 masalah pokok kehidupan manusia, yaitu: 1. Hakikat hidup manusia (MH). Hakikat hidup untuk setiap kebudayaan berbeda secara ekstrem, ada yang berusaha untuk memadamkan hidup (nirvana=meniup habis), ada pula yang dengan pola-pola kelakuan tertentu menganggap hidup sebagai suatu hal yang baik,”mengisi hidup”. 2. Hakikat karya manusia (MK). Setiap kebudayaan hakikatnya berbeda, diantaranya ada yang beranggapan bahwa karya bertujuan untuk hidup, karya memberikan kedudukan atau kehormatan, karya merupakan gerak hidup untuk menambah karya lagi.

11 3. Hakikat waktu manusia (MW)
3. Hakikat waktu manusia (MW). Hakikat waktu untuk setiap kebudayaan berbeda, ada yang berpandangan mementingkan orientasi masa lampau, ada pula yang berpandangan untuk masa kini atau yang akan datang. 4. Hakikat alam manusia (MA). Ada kebudayaan yang menganggap manusia harus mengeksploitasi alam atau memanfaatkan alam semaksimal mungkin, ada pula kebudayaan yang beranggapan bahwa manusia harus harmonis dengan alam dan manusia harus menyerah kepada alam. 5. Hakikat hubungan manusia (MM). Dalam hal ini ada yang mementingkan hubungan manusia dengan manusia, baik secara horizontal (sesamanya) maupun secara vertikal (orientasi kepada tokoh-tokoh). Ada pula yang berpandangan individualistis (menilai tinggi kekuatan sendiri).

12 PERUBAHAN KEBUDAYAAN DAN PENYESUAIAN ANTARBUDAYA Terjadinya perubahan ini disebabkan oleh beberapa hal: 1) Sebab-sebab yang berasal dari dalam masyarakat dan kebudayaan sendiri, misalnya perubahan jumlah dan komposisi penduduk. 2) Sebab-sebab perubahan lingkungan alam dan fisik tempat mereka hidup. Masyarakat yang hidupnya terbuka, yang berada dalam jalur-jalur hubungan dengan masyarakat dan kebudayaan lain, cenderung untuk berubah secara lebih cepat. Peristiwa-Peristiwa Perubahan Kebudayaan. Cultural lag adalah perbedaan antara taraf kemajuan berbagai bagian dalam kebudayaan suatu masyarakat. Cultural survival. Istilah ini ada sangkut pautnya dengan cultural lag karena mengandung pengertian adanya suatu cara tradisional yang tak mengalami perubahan sejak dahulu sampai sekarang.

13 Cultural survival adalah suatu konsep yang lain, dalam arti bahwa konsep ini dipakai untuk menggambarkan suatu praktek yang telah kehilangan fungsi pentingnya seratus persen, yang tetap hidup dan berlaku semata-mata hanya di atas landasan adat-istiadat semata-mata. Pertentangan kebudayaan (cultural conflict). Faktor-faktor yang menimbulkan konflik kebudayaan adalah keyakinan-keyakinan yang berbeda sehubungan dengan berbagai masalah aktivitas berbudaya. Guncangan kebudayaan (cultural shock). Kalervo Oberg (1958) menyatakan apa yang disebutnya sebagai suatu penyakit jabatan dari orang-orang yang tiba-tiba dipindahkan ke dalam suatu kebudayaan yang berbeda dari kebudayaan nya sendiri, semacam penyakit mental yang tak disadari oleh korbannya.

14 4 tahap yang membentuk siklus culture shock: 1) Tahap inkubasi; kadang-kadang disebut tahap bulan madu,sebagai suatu pengalaman baru yang menarik. 2) Tahap krisis; ditandai dengan suatu perasaan dendam, pada saat ini-lah terjadi korban culture shock. 3) Tahap kesembuhan; korban mampu melampaui tahap kedua, hidup dengan damai. 4) Tahap penyesuaian diri; sekarang orang tersebut sudah membanggakan sesuatu yang dilihat dan dirasakannya dalam kondisi yang baru itu; rasa cemas dalam dirinya sudah berlalu. Penyesuaian diri antar budaya dipengaruhi oleh faktor intern dan ekstern. Faktor intern ialah faktor watak (traits) dan kecakapan (skills). Watak adalah segala tabiat yang membentuk keseluruhan kepribadian seseorang, yang dalam bahasa sehari-hari biasanya merupakan jawaban atas pertanyaan,”Orang macam apa dia?”. Kecakapan (skills) menyangkut sesuatu yang dapat dipelajari mengenai lingkungan budaya yang akan dimasuki.

15 Nilai Budaya Barat Barat dalam pikirannya cendrung menekankan dunia objektif daripada rasa sehingga hasil pola pemikiran demikian membuahkan sains dan teknologi. Barat dalam cara berpikir dan hidupnya lebih terpikat oleh kemajuan material dan hidup sehingga tidak cocok dengan cara berpikir untuk meninjau makna dunia dan makna hidup. Dalam hal manusia mereka beranggapan bahwa manusia adalah ukuran bagi segalanya. Dalam tradisi humanistik ditekankan bahwa setiap manusia harus memilih untuk dirinya tentang kebenaran dan kebaikan. Tradisi humanistik di Barat berupa penghargaan terhadap martabat manusia sebagai suatu yang otonom, merdeka, dan rasional, menunjang nilai-nilai demokrasi, lembaga sosial, dan kesejahteraan ekonomi. Di Barat orang lebih condong menekankan dunia empiris sehingga mereka maju dalam sains dan teknologi.

16 Nilai Budaya Timur Nilai budaya timur banyak bersumber dari agama-agama yang lahir di dunia Timur, sebab manusia timur lebih menyukai intusi dari pada akal budi. Inti kepribadian manusia timur tidak terletak pada inteleknya tetapi pada hatinya. Sikap orang timur terhadap alam adalah menyatu dengan alam, tidak memaksakan diri dengan atau mengeksploitasi alam, bahkan menginginkan harmoni dengan alam karena alam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Nilai kehidupan timur yang tertinggi datang dari dalam, seperti “nrimo” kenyataan,mencari ketenangan dan waktu demi kesenangan belajar dari pengalaman, menyatukan diri.

17 Mekanisme Harmoni Pengetahuan Barat telah banyak mengambil doktrin Timur tentang”pusat diri” dan jalan mencapai pusat diri (way to the centre). Pemahaman terhadap “pusat diri” itu sebagai “bentuk mini” dari “grand design” alam semesta (mikro kosmos, jagat cilik). Bahagia atau tidaknya manusia tergantung dari pada masih atau tidaknya manusia mengaitkan diri dengan pusat diri ini. Adanya “grand design” dalam pusat ini disebabkan manusia dalam dirinya seperti menghayati kesadaran harmoni Dalam spiritual, pusat diri ini bersifat rohani (ada dalam kesadaran rohani,”Soul Consciousness”). Kembali ke pusat diri adalah proses kembali diri pada keadaan yang awal secara rohani yang sempurna secara spiritual,”man as a such” (manusia sebagai mana ada pada asalnya, yaitu manusia sebagai mahluk “teomorfis” (yang bersifat ilahi) yang memiliki intelegen.

18 Inilah spiritualitas sebagai medium pertemuan Kosmos (makro kosmos), Tuhan sebagai mana adanya (God as a such) dengan manusia (mikro kosmos) sebagai mana adanya (man as a such) Dalam psikologi transendental, manusia yang dicari adalah manusia yang mengalami “Aku Sejati” lawannya “aku yang palsu”. Distingsi ini sangat halus, sehingga tidak tampak secara kasat mata Dalam diri manusia itu ada dua entitas yaitu “Aku” (the real “I”) dan “Manifestasi diri Aku” yaitu peranan roh kita yang dimainkan oleh roh kita. Peranan yang dimainkan itu berupa identitas dirinya, berupa label (topeng), yang terkadang dianggap identitas diri yang sebenarnya. Misalnya kita sebagai profesor, dosen, mahasiswa, pejabat, penguasa dan seterusnya. Semua identitas ini memberikan kepada kita rasa aman dan kebahagiaan.

19 Reaksi dan Sikap Budaya Timur
Reaksi dan Sikap Budaya Timur. Pribadi dalam dunia timur berada dalam keadaan partisipasi yang tidak individual. Martabat pribadi dibentuk dalam proses kompromi sosial, tidak dibiarkan seseorang “mengurus dirinya sendiri”. Pembentukan pribadi Barat adalah sebaliknya dari pola timur, yaitu ketidakbergantungan, individualisme, mengasingkan diri, sehingga sering timbul segi negatifnya, yaitu kesepian dan rasa tertekan. Adanya krisis atau guncangan kebudayaan, menimbulkan kesadaran untuk mempertahankan kembali relevansi nilai-nilai yang terkandung dalam kebudayaan Timur. Menurut Alfian (1985, 36) ada tiga pola atau corak reaksi dalam menghadapi tantangan kebudayaan Barat, yaitu:

20 1. Corak reaksi yang menerima dan merangkul bulat-bulat kebudayaan Barat. Corak ini menganggap kebudayaan Timur(sendiri) sudah tidak relevan lagi untuk menghadapi kondisi sekarang, hanya kebudayaan Barat yang unggul dan mampu melahirkan manusia yang berkualitas. 2. Corak reaksi yang sama sekali anti kebudayaan Barat. Corak ini menganggap kebudayaan barat hanya melahirkan manusia buas dan kejam, dan kebudayaan Timur yang lebih unggul. 3. Corak reaksi yang berusaha melihat perbenturan kebuda- yaan timur dengan Barat secara realistis dan kritis. Krisis yang mengguncangkan tidak menyebabkan hilangnya kese imbangan atau hanya memilih salah satu kebudayaan seper ti digambarkan dalam pola reaksinya. Corak reaksi ini berusa ha mengambil jarak dan menilai secara jujur keunggulan ke- budayaan Barat dan kelemahan kebudayaan Timur sekali- gus mempertahankan relevansi nilai-nilai kebudayaannya.

21 Rumusan Tentang Kebudayaan Nasional Indonesia Kepulauan Nusantaran terdiri atas aneka warna kebudayaan dan bahasa sehingga, demi integrasi nasional, kita mempunyai rumusan Bhinneka Tunggal Ika yang artinya Bhinna=pecah, Ika=itu, dan Tunggal=satu, sehingga Bhinna Ika Tunggal Ika artinya “terpecah itu satu”. Tidak jarang sifat ke-bhinneka-an bangsa kita sampai pada konflik tingkat nasional yang menyebabkan terganggunya integrasi nasional sebagai cita-cita bangsa. Kebudayaan demikian kompleknya menyangkut berbagai segi kehidupan manusia dan masyarakat, serta merupakan unsur utama dalam proses pembangunan diri manusia dan masyarakat. Masalah kebudayaan menyangkut kepribadian nasional dan langsung mengenai identitas suatu bangsa. Logikanya proses pembangunan manusia dan masyarakat tidak dapat melepaskan diri dari unsur kebudayaan.

22 Pembicaraan kebudayaan nasional dimulai sejak tahun 1936 ketika diselenggarakan polemik kebudayaan antara Sutan Takdir Alisjahbana c.s. di satu pihak (sebagai wakil Golongan Indonesia Moeda) dan Sanusi Pane, Ki Hajar Dewantara, serta Dr. Sutomo di pihak lain. Polemik ini lengkapnya ada dalam buku Polemik Kebudayaan yang diterbitkan oleh Balai Poestaka pada tahun Rumusan kebudayaan nasional itu dapat dikelompokkan ke dalam dua aliran, yaitu: 1. Ke-Indonesiaan sebenarnya sudah ada sejak dahulu kala, mulai dari adat, seni, dll. Yang belum ada ialah nasion Indonesia. Jadi yang perlu diusahakan oleh bangsa Indonesia dalam membangun kebudayaan nasionalnya ialah bagaimana memperbaharui kebudayaan sehingga sesuai dengan kebangsaan Indonesia. Jalan yang harus ditempuh ialah perluasan dasar kebudayaan Indonesia dengan cara memesrakan (menyerapkan, memadukan)

23 materialisme, intelektualisme, dan individualisme (Barat) dengan spiritualisme, perasaan, dan kolektivisme (Timur) Aliran pertama ini dipelopori oleh Ki Hajar Dewantara cs Aliran yang dipelopori oleh Sutan Takdir Alisjahbana menghendaki penciptaan kebudayaan nasional Indonesia banyak dipengaruhi oleh unsur-Barat yang dinamis Kebudayaan nasional yang baru itu dengan sendirinya mencerminkan pula watak dan kepribadian sebelumnya (masyarakat dan kebudayaan pra-Indonesia). Aliran pertama Ki Hajar Dewantara c.s.-menghendaki perluasan dasar asas Barat. Bukan perubahan,melainkan perluasan dengan asas Barat. Kebudayaan nasional Indonesian sebagai kebudayaan Timur harus mementingkan kerohanian, perasaan, gotong royong, bertentangan dengan kebudayaan Barat yang mementingkan materi, intelektualisme, dan individualisme.

24 Orang Indonesia tidak boleh melupakan sejarah dan kebudayaan, sebab dengan mempelajari sejarah dan kebudayaan di masa lalu, ia dapat membangun kebudayaan yang baru. Kebudayaan Indonesia harus berakar pada kebudayaan pra-Indonesia. Aliran kedua Sutan Takdir Alisjahbana c.s. menghendaki semangat barat yang kreatif dalam segala lapangan kehidupan masyarakat dan kebudayaan Indonesia, semangat menundukkan alam untuk kepentingan manusia. Semangat Barat yang dinamis pada hakikat bersaudara dengan semangat Indonesia. Jadi, diperlukan perubahan mental dari yang statis kepada yang dinamis dalam membangun kebudayaan nasional Indonesia. Kebudayaan nasional menurut Sutan Takdir Alisjahbana baru muncul pada permulaan abad ke-20 oleh generasi muda Indonesia yang berjiwa dan bersemangat ke-Indonesiaan.

25 Harsya Bachtiar, tidak mengikutsertakan unsur Barat
Harsya Bachtiar, tidak mengikutsertakan unsur Barat. Harsya mengatakan bahwa kebudayaan nasional Indonesia di dalam masyarakat Indonesia yang merdeka haruslah suatu kebudayaan “yang baru sama sekali”, bersih dari kebudayaan feodalis dan atau sisa-sisanya, maupun dari ciri-ciri arkais sukuisme atau macam-macam etnosentrisme lainnya. Koentjaraningrat berpendapat bahwa pembangunan kebudayaan nasional Indonesia perlu berorientasi ke zaman kejayaan nenek moyang bangsa Indonesia yang telah lampau, tetapi juga ke zaman sekarang karena kebudayaan perlu memberi kemampuan kepada bangsa Indonesia untuk menghadapi peradaban masa kini. Konsep Koentjaraningrat tentang kebudayaan nasional bersifat operasional, yaitu berorientasi pada warisan nenek moyang dari zaman kejayaan dan zaman sekarang, yaitu zaman modern (Barat).

26 Berdasarkan fungsinya, kebudayaan nasional menurut Koentjaraningrat adalah: a. Suatu sistem gagasan dan perlambang yang memberi identitas kepada warga negara Indonesia. b. Suatu sistem gagasan dan perlambang yang dapat dipakai oleh semua warga negara Indonesia yang bhinneka itu, untuk saling berkomunikasi dan dengan demikian dapat memperkuat solidaritas. Fungsi kebudayaan nasional Indonesia sebagai suatu sistem gagasan dan perlambang yang memberi identitas kepada warga negara Indonesia harus memenuhi tiga syarat, yaitu: 1. Merupakan hasil karya warga negara Indonesia, 2. Mengandung ciri-ciri khas Indonesia, dan 3. Hasil karya warga negara Indonesia yang dinilai tinggi oleh warganya dan menjadi kebanggaan semua.

27 Rumusan kebudayaan nasional sudah jelas tercantum dalam penjelasan UUD 45 Pasal 32 yang berbunyi: ”Kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budinya rakyat Indonesia seluruhnya” Kebudayaan nasional itu merupakan puncak-puncak kebudayaan daerah, maka yang dimaksud dengan puncak-puncak kebudayaan daerah adalah unsur- unsur kebudayaan daerah yang bersifat universal dan dapat diterima oleh suku bangsa lainnya, tanpa menimbulkan gangguan terhadap latar belakang budaya kelompok yang menerima sekaligus mewujudkan konfigurasi atau gugusan kesatuan budaya nasional. Kebudayaan nasional dalam hal ini diartikan sebagai kebudayaan integral, merupakan suatu totalitas dari proses dan hasil segala aktivitas bangsa Indonesia dalam bidang estetika, moral, dan ideasional Wujud kebudayaan nasional tersebut meliputi barang-barang buatan (artifact), kelembagaan sosial (socifact), dan buah pikiran (mentifact).

28 Formasi kebudayaan nasional dalam rangka pemolaan kehidupan bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila adalah proses yang timbal balik antara yang ideal dengan yang aktual. Kebudayaan dalam hal ini dipandang sebagai polaritas antar ideal dengan aktual, antara nilai-nilai dan kelakuan individu, antara kebudayaan dan interaksi sosial, dsb. Melalui habituasi (pembiasaan) dan proses kultur akan dihasilkan etos kebudayaan Etos kebudayaan ini merupakan sistem atau unit yang terdiri atas berbagai komponen ekonomi, sosial politik, budaya dan yang lainnya sehingga perlu mensintesiskan komponen-komponen tersebut dalam “watak” atau “etos” kebudayaan dari kebudayaan nasional. Kompleksitas kebudayaan dikemukakan oleh Kluckhon (1951) bahwa kebudayaan itu bersumber dari sifat biologis, lingkungan, psikologis, dan komponen sejarah eksistensi manusia.

29 Etos kebudayaan ini merupakan kompleks nilai yang koheren serta memberi watak atau identitas khusus kepada kebudayaan yang diresapinya Pancasila dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, yang meliputi eksistensi manusia Indonesia, dapat berfungsi sebagai etos kebudayaan nasional. Pancasila sebagai etos kebudayaan Indonesia harus direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini, Pancasila berfungsi sebagai kebudayaan normatif yang akan menjelma berupa personalisasi. Personalisasi tersebut merupakan kebudayaan nasional yang meliputi konsep kepribadian nasional dan identitas nasional.


Download ppt "Kerangka Kebudayaan Menurut Koentjaraningrat (1980), kata “kebudayaan” berasal dari kata Sansekerta budhayah, yaitu bentuk jamak dari budhi yang berarti."

Presentasi serupa


Iklan oleh Google